Assalammu'alaikum Wr. Wb..
Kalimat laa ilaha illallah adalah kalimat yang sangat ringan
diucapkan dengan lisan namun memiliki bobot yang sangat agung. Karena
pada hakikatnya ia merupakan intisari ajaran Islam. Akan tetapi tentu
saja kalimat ini bukan sekedar ucapan tanpa makna dan tanpa konsekuensi yang harus dijalankan (lihat Syarh Tafsir Kalimat at-Tauhid oleh Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah, hal. 5)
Ada yang berkata kepada al-Hasan, “Sebagian orang mengatakan: Barangsiapa mengucapkan laa ilaha illallah maka dia
pasti masuk surga.”? Maka al-Hasan menjawab, “Barangsiapa yang
mengucapkan laa ilaha illallah kemudian dia menunaikan konsekuensi dan
kewajiban darinya maka dia pasti masuk surga.” (lihat Kitab at-Tauhid; Risalah Kalimat al-Ikhlas wa Tahqiq Ma’naha oleh Imam Ibnu Rajab rahimahullah, hal. 40)
Dikatakan kepada Wahb bin Munabbih rahimahullah, “Bukankah laa
ilaha illallah adalah kunci surga?”. Beliau menjawab, “Benar. Akan
tetapi tidaklah suatu kunci melainkan memiliki gerigi-gerigi. Apabila
kamu datang dengan membawa kunci yang memiliki gerigi-gerigi itu maka
dibukakanlah [surga] untukmu. Jika tidak, maka ia tidak akan dibukakan
untukmu.” (lihat Kitab at-Tauhid; Risalah Kalimat al-Ikhlas wa Tahqiq Ma’naha, hal. 40)
Dalil al-Qur’an
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Allah bersaksi bahwa
tidak ada ilah (sesembahan) -yang benar- selain Dia, dan [bersaksi pula]
para malaikat serta orang-orang yang berilmu, demi tegaknya keadilan.
Tiada ilah [yang benar] selain Dia, Yang Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana.” (QS. Ali ‘Imran: 18)
Imam Ibnu Abil ‘Izz al-Hanafi rahimahullah berkata, “Ayat yang
mulia ini mengandung penetapan hakikat tauhid dan bantahan bagi seluruh
kelompok sesat. Ia mengandung persaksian yang paling mulia, paling
agung, paling adil, dan paling jujur, yang berasal dari semulia-mulia
saksi terhadap sesuatu perkara yang paling mulia untuk dipersaksikan.”
(lihat Syarh al-’Aqidah ath-Thahawiyah, hal. 90 cet. al-Maktab al-Islami)
Makna persaksian ini adalah bahwa Allah telah mengabarkan,
menerangkan, memberitahukan, menetapkan, dan memutuskan bahwa segala
sesuatu selain-Nya bukanlah ilah/sesembahan [yang benar] dan bahwasanya
penuhanan segala sesuatu selain-Nya adalah kebatilan yang paling batil.
Menetapkan hal itu [ilahiyah pada selain Allah] adalah kezaliman yang
paling zalim. Dengan demikian, tidak ada yang berhak untuk disembah
kecuali Dia, sebagaimana tidak layak sifat ilahiyah disematkan kepada
selain-Nya. Konsekuensi hal ini adalah perintah untuk menjadikan Allah
semata sebagai ilah dan larangan mengangkat selain-Nya sebagai
sesembahan lain bersama-Nya (lihat at-Tafsir al-Qayyim, hal. 178 oleh Imam Ibnul Qayyim rahimahullah)
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Yang demikian itu,
karena Allah adalah [sesembahan] yang benar, adapun segala yang mereka
seru selain Allah adalah batil. Dan sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.” (QS. Al-Hajj: 62)
Imam Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan, “Adapun segala yang
mereka seru selain Allah adalah batil; yaitu patung, tandingan,
berhala, dan segala sesuatu yang disembah selain Allah maka itu adalah
[sesembahan yang] batil; karena ia tidak menguasai kemanfaatan maupun
madharat barang sedikit pun.” (lihat Tafsir al-Qur’an al-’Azhim [5/449])
Dalil as-Sunnah
Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu’anhuma, beliau menuturkan bahwa tatkala Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus Mu’adz bin Jabal radhiyallahu’anhu ke negeri
Yaman, maka beliau berpesan kepadanya, “Sesungguhnya engkau akan
mendatangi sekelompok orang dari kalangan Ahli Kitab, maka jadikanlah
perkara pertama yang kamu serukan kepada mereka syahadat laa ilaha
illallah.” Dalam sebagian riwayat disebutkan, “Supaya mereka
mentauhidkan Allah.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, “Iman terdiri dari tujuh puluh sekian atau enam puluh sekian
cabang. Yang paling utama adalah ucapan laa ilaha illallah dan yang
terendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan. Dan rasa malu adalah
salah satu cabang keimanan.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Imam an-Nawawi rahimahullah berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
menegaskan bahwa bagian iman yang paling utama adalah tauhid yang
hukumnya wajib ‘ain atas setiap orang, dan itulah perkara yang tidaklah
dianggap sah/benar cabang-cabang iman yang lain kecuali setelah sahnya
hal ini (tauhid).” (lihat Syarh Muslim [2/88])
Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah
menjelaskan, “Aqidah tauhid ini merupakan asas agama. Semua perintah dan
larangan, segala bentuk ibadah dan ketaatan, semuanya harus dilandasi
dengan aqidah tauhid. Tauhid inilah yang menjadi kandungan dari syahadat
laa ilaha illallah wa anna Muhammadar rasulullah. Dua kalimat
syahadat yang merupakan rukun Islam yang pertama. Maka, tidaklah sah
suatu amal atau ibadah apapun, tidaklah ada orang yang bisa selamat dari
neraka dan bisa masuk surga, kecuali apabila dia mewujudkan tauhid ini
dan meluruskan aqidahnya.” (lihat Ia’nat al-Mustafid bi Syarh Kitab at-Tauhid [1/17] cet. Mu’assasah ar-Risalah)
Makna dan Konsekuensi Laa Ilaha Illallah
Syahadat laa ilaha illallah maknanya adalah seorang hamba mengakui dengan lisan dan hatinya bahwa tidak ada ma’bud [sesembahan] yang benar kecuali Allah ‘azza wa jalla. Karena ilah bermakna ma’luh [sesembahan], sedangkan kata ta’alluh bermakna ta’abbud [beribadah]. Di dalam kalimat ini terkandung penafian dan penetapan. Penafian terdapat pada ungkapan laa ilaha, sedangkan penetapan terdapat pada ungkapan illallah.
Sehingga makna kalimat ini adalah pengakuan dengan lisan -setelah
keimanan di dalam hati- bahwa tidak ada sesembahan yang benar selain
Allah; dan konsekuensinya adalah memurnikan ibadah kepada Allah semata
dan menolak segala bentuk ibadah kepada selain-Nya (lihat Fatawa Arkan al-Islam hal. 47 oleh Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah)
Orang yang mengucapkan laa ilaha illallah harus melaksanakan
konsekuensinya, yaitu beribadah kepada Allah, tidak berbuat syirik dan
melaksanakan kewajiban-kewajiban Islam. Suatu ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
ditanya mengenai amalan yang bisa memasukkan ke dalam surga. Maka
beliau menjawab, “Kamu beribadah kepada Allah dan tidak
mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun. Kamu mendirikan sholat wajib,
zakat yang telah difardhukan, dan berpuasa Ramadhan.” (HR. Bukhari dan
Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu)
Kalimat laa ilaha illallah mengandung konsekuensi tidak mengangkat
ilah/sesembahan selain Allah. Sementara ilah adalah Dzat yang ditaati
dan tidak didurhakai, yang dilandasi dengan perasaan takut dan
pengagungan kepada-Nya. Dzat yang menjadi tumpuan rasa cinta dan takut,
tawakal, permohonan, dan doa. Dan ini semuanya tidak pantas
dipersembahkan kecuali kepada Allah ‘azza wa jalla. Barangsiapa
yang mempersekutukan makhluk dengan Allah dalam masalah-masalah ini
-yang ia merupakan kekhususan ilahiyah- maka hal itu merusak keikhlasan
dan kemurnian tauhidnya. Dan di dalam dirinya terdapat bentuk
penghambaan kepada makhluk sesuai dengan kadar ketergantungan hati
kepada selain-Nya. Dan ini semuanya termasuk cabang kemusyrikan (lihat Kitab at-Tauhid; Risalah Kalimat al-Ikhlas wa Tahqiq Ma’naha, hal. 49-50)
Dengan demikian, seorang yang telah mengucapkan laa ilaha illallah
wajib mengingkari segala sesembahan selain-Nya. Oleh karenanya,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa
mengucapkan laa ilaha illallah dan mengingkari segala yang disembah
selain Allah, maka terjaga harta dan darahnya. Adapun hisabnya adalah
urusan Allah ‘azza wa jalla.” (HR. Muslim dari Thariq bin Asy-yam radhiyallahu’anhu)
Adapun orang yang mengucapkan laa ilaha illallah akan tetapi tidak
mengingkari sesembahan selain Allah atau justru berdoa kepada para wali
dan orang-orang salih [yang sudah mati] maka orang semacam itu tidak
bermanfaat baginya ucapan laa ilaha illallah. Karena hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam itu saling menafsirkan satu sama lain. Tidak boleh hanya mengambil sebagian hadits dan meninggalkan sebagian yang lain (lihat Syarh Tafsir Kalimat at-Tauhid, hal. 12)
Tidak Cukup Di Lisan
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah berkata, “Syahadat dengan lisan saja tidak cukup. Buktinya adalah kaum munafik juga mempersaksikan keesaan Allah ‘azza wa jalla.
Akan tetapi mereka hanya bersaksi dengan lisan mereka. Mereka
mengatakan sesuatu yang sebenarnya tidak mereka yakini di dalam hati
mereka. Oleh sebab itu ucapan itu tidak bermanfaat bagi mereka…” (lihat Syarh al-Arba’in an-Nawawiyah, hal. 23 cet. Dar Tsurayya).
Kalimat laa ilaha illallah tidak cukup hanya diucapkan, tanpa ada
keyakinan dan pelaksanaan terhadap kandungan dan konsekuensinya. Allah ta’ala
berfirman tentang orang-orang munafik (yang artinya), “Sesungguhnya
orang-orang munafik itu berada di dalam kerak paling bawah dari neraka
Jahannam, dan kamu tidak akan mendapati penolong bagi mereka.” (QS.
An-Nisaa’: 145)
Allah ta’ala juga berfirman (yang artinya), “Apabila datang
kepadamu orang-orang munafik seraya mengatakan: Kami bersaksi bahwa
engkau benar-benar utusan Allah. Allah mengetahui bahwa engkau
benar-benar utusan-Nya. Dan Allah bersaksi bahwa orang-orang munafik itu
benar-benar pendusta.” (QS. Al-Munafiqun: 1)
Seorang yang mengucapkan laa ilaha illallah harus melandasi syahadatnya dengan keikhlasan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, “Sesungguhnya Allah mengharamkan neraka bagi orang yang
mengucapkan laa ilaha illallah karena [ikhlas] mencari wajah Allah.”
(HR. Bukhari dan Muslim dari ‘Itban bin Malik radhiyallahu’anhu)
Seorang yang mengucapkan laa ilaha illallah pun harus melandasi syahadatnya dengan keyakinan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, “Aku bersaksi bahwa tidak ada ilah/sesembahan yang benar
selain Allah dan bahwsanya aku -Muhammad- adalah utusan Allah. Tidaklah
seorang hamba bertemu dengan Allah dengan membawa dua persaksian ini
tanpa keragu-raguan lalu dihalangi masuk surga.” (HR. Muslim)
Oleh sebab itu para ulama menerangkan bahwa untuk mewujudkan laa
ilaha illallah di dalam kehidupan kita, harus terpenuhi hal-hal sebagai
berikut:
- Mengucapkannya
- Mengetahui maknanya
- Meyakini kandungannya
- Mengamalkan kandungan dan konsekuensinya; yaitu beribadah kepada Allah saja dan meninggalkan sesembahan selain-Nya
- Membela orang yang menegakkan tauhid
Siapa pun yang melakukan perkara yang membatalkan keislaman maka
sesungguhnya dia telah membatalkan syahadatnya. Karena syahadat ini
hanya akan berguna baginya apabila dia beramal dengannya dan istiqomah
di atasnya. Dia beribadah kepada Allah saja dan meninggalkan segala
sesembahan selain-Nya. Dia juga taat kepada perintah dan larangan Allah.
Selain itu, dia tidak melakukan perkara yang membatalkan syahadatnya,
baik berupa ucapan, perbuatan, atau keyakinan. Apabila seorang telah
melakukan perkara yang membatalkan syahadatnya, maka tidak ada artinya
ucapan syahadat itu meskipun dia ucapkan seribu kali, bahkan walaupun
dia menunaikan sholat, puasa, zakat dan haji (lihat Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah karya Syaikh Bin Baz rahimahullah [4/20] yang disusun oleh Dr. Muhammad bin Sa’ad asy-Syuwai’ir)
Siapa saja yang meninggalkan kewajiban atau melakukan hal-hal yang
diharamkan maka dia harus siap menanggung resiko hukuman dari Allah,
meskipun dia telah mengucapkan kalimat tauhid dan meyakini kandungannya.
Dan apabila dia melakukan suatu perkara yang membatalkan keislamannya
maka dia berubah status menjadi murtad dan kafir, sehingga ucapan
syahadat itu tidak lagi bermanfaat baginya. Oleh sebab itu kalimat
tauhid ini harus direalisasikan di dalam kenyataan dan dijalankan
konsekuensinya. Kalau tidak demikian maka orang tersebut berada dalam
ancaman bahaya yang sangat besar jika tidak bertaubat dari kesalahannya,
meskipun dia adalah pemilik tauhid. Allahul musta’aan (lihat Syarh Kitab at-Tauhid oleh Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah, hal. 26)
Jadikan Tauhid Sebagai Prioritas Utama
Syaikh Ahmad bin Yahya an-Najmi rahimahullah berkata, “…
sesungguhnya memperhatikan perkara tauhid adalah prioritas yang paling
utama dan kewajiban yang paling wajib. Sementara meninggalkan dan
berpaling darinya atau berpaling dari mempelajarinya merupakan bencana
terbesar yang melanda. Oleh karenanya, menjadi kewajiban setiap hamba
untuk mempelajarinya dan mempelajari hal-hal yang membatalkan,
meniadakan atau menguranginya, demikian pula wajib baginya untuk
mempelajari perkara apa saja yang bisa merusak/menodainya.” (lihat asy-Syarh al-Mujaz, hal. 8)
Betapa pun beraneka ragam umat manusia dan berbeda-beda problematika
mereka, sesungguhnya dakwah kepada tauhid adalah yang pokok. Sama saja
apakah masalah yang menimpa mereka dalam hal perekonomian sebagiamana
yang dialami penduduk Madyan -kaum Nabi Syu’aib ‘alaihis salam- atau masalah mereka dalam hal akhlak sebagaimana yang menimpa kaum Nabi Luth ‘alaihis salam.
Bahkan, meskipun masalah yang mereka hadapi adalah dalam hal
perpolitikan! Sebab realitanya umat para nabi terdahulu itu -pada
umumnya- tidak diterapkan pada mereka hukum-hukum Allah oleh para
penguasa mereka… Tauhid tetap menjadi prioritas yang paling utama!
(lihat Sittu Duror min Ushuli Ahli al-Atsar oleh Syaikh Abdul Malik Ramadhani hafizhahullah, hal. 18-19)
Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu rahimahullah memaparkan, “Pada
masa kita sekarang ini, apabila seorang muslim mengajak saudaranya
kepada akhlak, kejujuran dan amanah niscaya dia tidak akan menjumpai
orang yang memprotesnya. Namun, apabila dia bangkit mengajak kepada
tauhid yang didakwahkan oleh para rasul yaitu untuk berdoa kepada Allah
semata dan tidak boleh meminta kepada selain-Nya apakah itu para nabi
maupun para wali yang notabene adalah hamba-hamba Allah [bukan
sesembahan, pent] maka orang-orang pun bangkit menentangnya dan menuduh
dirinya dengan berbagai tuduhan dusta. Mereka pun menjulukinya dengan
sebutan ‘Wahabi’! agar orang-orang berpaling dari dakwahnya. Apabila
mereka mendatangkan kepada kaum itu ayat yang mengandung [ajaran] tauhid
muncullah komentar, ‘Ini adalah ayat Wahabi’!! Kemudian apabila mereka
membawakan hadits, ‘..Apabila kamu minta pertolongan mintalah
pertolongan kepada Allah.’ sebagian orang itu pun mengatakan, ‘Ini
adalah haditsnya Wahabi’!…” (lihat Da’watu asy-Syaikh Muhammad ibn Abdil Wahhab, hal. 12-13)
Apabila memelihara kesehatan tubuh adalah dengan mengkonsumsi makanan
bergizi dan obat-obatan, maka sesungguhnya memelihara tauhid adalah
dengan ilmu dan dakwah. Sementara tidak ada suatu ilmu yang bisa
memelihara tauhid seperti halnya ilmu al-Kitab dan as-Sunnah. Demikian
pula tidak ada suatu dakwah yang bisa menyingkap syirik dengan jelas
sebagaimana dakwah yang mengikuti metode keduanya [al-Kitab dan
as-Sunnah, pent] (lihat asy-Syirk fi al-Qadiim wa al-Hadiits, hal. 6)
Imam Bukhari rahimahullah memulai kitab Sahih-nya dengan Kitab
Bad’il Wahyi [permulaan turunnya wahyu]. Kemudian setelah itu beliau
ikuti dengan Kitab al-Iman. Kemudian yang ketiga adalah Kitab al-’Ilmi.
Hal ini dalam rangka mengingatkan, bahwasanya kewajiban yang paling
pertama bagi setiap insan adalah beriman [baca: beraqidah yang
benar/bertauhid]. Sementara sarana untuk menuju hal itu adalah ilmu.
Kemudian, yang menjadi sumber/rujukan iman dan ilmu adalah wahyu [yaitu
al-Kitab dan as-Sunnah] (lihat dalam mukadimah tahqiq kitab ‘Aqidah Salaf wa Ash-habul Hadits, hal. 6)
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah berkata,
“Sesungguhnya tauhid menjadi perintah yang paling agung disebabkan ia
merupakan pokok seluruh ajaran agama. Oleh sebab itulah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
memulai dakwahnya dengan ajakan itu (tauhid), dan beliau pun
memerintahkan kepada orang yang beliau utus untuk berdakwah agar memulai
dakwah dengannya.” (lihat Syarh Tsalatsat al-Ushul, hal. 41)
Demikian sedikit keterangan seputar makna kalimat syahadat yang bisa
kami himpun dengan taufik dari Allah. Semoga bermanfaat bagi kita. Wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi wa sallam. Walhamdulillahi Rabbil ‘alamin.
Sumber: http://abu0mushlih.wordpress.com
0 komentar:
Posting Komentar
Selamat datang saudaraku, terimakasih sudah berkunjung. Jangan lupa tinggalkan komentar. ( Welcome to my brother/sister, thank you for visiting. Do not forget to leave a comment )